Minggu, 29 Oktober 2017

No Buses

Those who says negative feeling brings nothing negative outcome needs to see me asap, because i'm going to tell you a story of how I lost 10 Kilos in 3 months out of spite and hatred.

Let's go back to circa 2008-09, where i was at my peak, at least physically.

I play football 3 times a week + PE lesson in school.

I'm not saying I'm a good football player, but try play serious football in HS level for a year, where you maintain your diet, and that 2 hours of training is real training.

At that time i weight around 73,5-75KG

Fast forward 9 years, in June 2017 I weight 89Kg with most of it in my tummy.

I have a friend with that weight and similar height but his fat are distributed quote nicely.

In the middle of July, a office mate found my HS photos and how skinny i was and the whole office explodes.

One sentence stings the most

"Fuck, what happened in that 9 years?"

Yeah nah, I don't know.

If i have to create a timeline, a 6 months break between College transfer adds 5 kilos, and 6 months break between my first job and current job adds another 5 kilos, and all the summer vacation between semesters adds another 1-2 kilos on their own, so there it is.

That when it clicked, I hated my body, i hated how it moved when i play any kind of sports, i hated how it looks, i hated everybody who said shit about my body everytime we meet just to make them feel better about themselves.

Yeah, my motivation is as negative as it could get.

It's like "I want to get beautiful to make that one person regrets rejecting me" but slightly worse because i hate everyone who said shit at every meeting about my body and that's a shitload of fucking people.

Long story short, here i am, three months later, at 78.7 kilograms, loss another 3 kgs and i'm back on my best weight.

Yeah, i'm fucking petty, but this pettiness made me lose 10 kilos.

Especially when i'm at that age where everyone else are having a kid and can't control they weight because they just don't have time.

I'm done saying "shit i'm so fucking fat" while rubbing my fucking disgustingly fat belly, if i feel like the current weight is not enough, i work harder at controlling my food intake.

Even at dieting i choose the easiest way: less calories in, more calories out, until i get there.

Well, this happens quite nicely because actually i have a fucking awesome metabolism.

which helps.

yeah, life is not fair.





Selasa, 17 Oktober 2017

Ga bisa tidur part 2537194528

Uwes.

Akhir2 ini rasa nya kok idup cuma kayak passing moments aja ya.

Bangun, mandi, ngantor, kerja diselingi canda tawa, wes abis itu pulang.

Kalo diliat big picture nya, ya idup bukan nya memang gt2 aja ya.

Gimanaya, kok malem ini abstract sekali kepala saya.

Iya hidup itu kumpulan momen numpang lewat, tapi bukan berarti momen yg numpang lewat itu percuma.

Sebenernya ini semua gegara lagu Streetcar nya Daniel Caesar yang ternyata cover dari lagunya Babang Kanye.

Intinya saya sekarang gamau lagi momen numpang lewat itu beneran numpang lewat doang.

Saya dulu peduli bgt sama success rates, tp karena peduli bgt, jd jarang nyoba.

Padahal klo main bola mah bodo amat, kmrn saya punya 20+ kesempatan tapi cuma gol 3, ya jelek bgt conversion rate nya.

Tapi

Those 3 goals felt so fucking good.

Mengingat paginya masih mencret2 dan malemnya hattrick itu jos betul.

Kalo di pikirin ya, karena saya tau seberapa menyenangkannya mencetak gol, saya rela melakukan semua yg perlu saya lakukan untuk mencetak gol.

Ga perlu di analogi-in sih, itu di atas udah analogi.

---

Ku masih Belum bisa move on dari soundtrack Kimi No Na Wa garapan Radwimps.

Kok iso dapet bgt feel of longing nya itu.

Kayak tau kita ada kurang/dikangenin/di pengenin, tapi gatau apa.

Itu pun sebelom baca terjemahan liriknya, setelah baca makin makin.

--

Discover Weekly nya Spotify itu godsend

Bisa2nya mereka rekomendasi lagu dari band indie Thailand yg kemudian cucok parah.

Dan baca penjelasannya pun cuma bisa geleng2, selain taking into account genre dan artist - biasa bgt - mereka juga baca pattern musik nya.

Abad 21

Bener2.

Sabtu, 14 Oktober 2017

Bangun kepagian karena mencret

Sekarang sedang dikantor, nunggu macet sedikit pudar, ditemani kumpulan chat, email, dan telpon yang belum saya balas dan dibalas.

I've spent the past few years of my life looking for something, but i don't know what is it, but i know there's something missing.

In the past few months, i've finally figured it out, it's my feelings.

I've spent the past few years thinking that being vulnerable means being weak, that it means giving something or someone else the power over me, it means I have no control, and i hate not having control over myself.

But it turns out, setting up all these rules and barriers to keep myself safe, it made me miss a lot of things.

Because i'm an International Relations graduate with 2.95 GPA, let me use Japan pre Meiji Restoration as an example.

Japan used to be isolated, yes it made their culture safe, it made them safe from outside interference, but it also made them fall behind the rest of the world.

Which also kind of the same for me, i shut people off, even my close friends.

Yes I still talk to them once in a while, but usually it's only on social media comments, the most non-committal way to communicate.

But things changed, I'm trying to change.

Well being vulnerable is good, it's a lot like when you tried that risky through pass, once in a while it works, and when it works, it's really beautiful.

Oh and Photography, i'm doing it again.

5 years not honing my skills means it's rusty, but like a lot of instinct-based things - riding a bike, driving a car - the basic will stays there.

and I love spotify's discover weekly.







Minggu, 08 Oktober 2017

Peace and Magic

Bahwa sejatinya, inspirasi itu bisa datang tanpa diduga.

Ini bukan soal inspirasi sih harusnya, sebenarnya semacam momen Eureka, atau Epiphany ya, bentar saya google dulu sinonim-nya

Salah semua ternyata, mungkin lebih tepatnya momen kesadaran kali ya.

Jadi kemarin hari Jum'at, kantor yang biasanya masih hidup dan penuh tawa minimal sampai jam 10, entah kenapa jam 8 sudah sepi, dan saya pun pulang jam 9 meskipun sebenarnya belum mau.

Ini bukan soal saya ga kangen rumah, ini soal macetnya Jakarta yang ga bisa di-toleransi akal sehat saya, padahal saya sudah naik motor yang notabene-nya tidak akan semacet kalau naik mobil.

Di tengah kemacetan Jakarta, ditambah kombinasi capek hati dan capek fisik, saya berhenti begitu melihat sebuah minimarket, beli teh botol.

Sebelum saya naik motor, saya memandang nanar macet yang ada di depan saya, kemudian saya mengeluarkan nafas panjang, yang kayaknya cukup kencang, karena tiba-tiba pak tukang parkir minimarket depan saya bilang, 

"Semangat Mas"

Kemudian saya kayak sadar sendiri, ini cuma macet, bukan saya ga bisa bayar cicilan motor atau orang tua meninggal, lagi-lagi in the grand scheme of things - saya masih belum nemu terjemahan yang cukup asik untuk kalimat ini - macet itu cuma tantangan kecil yang sebenarnya ratusan orang di depan mata saya saat itu juga alami.

Saya tiba-tiba mengalami momen sonder, sadar kalau tiap-tiap manusia di-depan saya ini juga punya kehidupan yang kompleks, dan karena nasib saja sekarang kita semua kena macet ditempat yang sama.

Lalu kepala saya jadi enteng, dan perjalanan pulang tiba-tiba terasa sedikit lebih ringan.

Trus sampai rumah saya merenung, dan saya sadar kalau penyebab semua ini adalah capek hati.

Capek fisik tapi mood senang itu beda, istirahat fisik itu mudah, hitungannya jelas, capek hati itu lain lagi.

Apa ya, karena suka ga jelas juga obatnya apa, bisa lagu, bisa buku, bisa puisi, bisa sms dari si dia, bisa "semangat mas" dari kang parkir alfa mart.

Ngomong2 semangat mas, ini kedua kalinya saya diselamatkan random kindness orang asing, yang pertama itu berkesan banget.

Ceritanya sama, males kuliah tapi harus kuliah, jadi tetep harus berangkat dengan muka sungut.

Di pintu tol bintaro, bayar tol, saya yang biasanya bilang makasih kali ini diem aja, tapi pas saya liat penjaga tolnya, seorang bapak-bapak, mungkin 50an, mukanya senyum tulus sambil bilang, "makasih mas"

Makasih-nya ga seberapa, senyumnya yang bikin malu.

Bapak ini udah tua, harusnya udah bisa pensiun dengan tenang, bukan jaga pintu tol.

Tapi dia jaga pintu tol dengan senyum, lah saya lagi naik mobil ber-AC mau kuliah biar jadi orang bener malah sungut.

Kalau yg baca bingung inti post ini apa, saya juga, karena ini sudah setengah 2 pagi dan pikiran saya sudah ga terstruktur dengan jelas.

Misalnya tiba2 saya mau bahas kalau sekarang link menuju blog ini ada di Instagram saya.

Kemarin tanggal 1 Oktober mulai lah inktober, saya klik hashtagnya, ga semuanya gambar bagus, banyak banget pemula, kalau inktober yang saya buka punya-nya ilustrator DC Comics, tentu saja jiper, tapi ini orang-orang yang nekat menyiarkan karyanya ke dunia.

Yah mungkin itu esensi berkarya, salah satu usaha untuk reaching out ke dunia yang menurut saya makin dipikirin makin absurd ga karuan.

Makanya sekarang saya naro link blog ini di Instagram saya, kalau tiba2 ada yang buka ya saya makasih aja, toh saya juga gapake adsense, ga dapet duit.

Yah kalo ada pembaca baru yang nyasar kesini, ya inilah saya dalam keadaan telanjang.

90% post di blog ini ditulis dalam keadaan setengah ngantuk atau setengah sadar dibawah pengaruh bisolvon, ditambah keahlian saya untuk meracik playlist yang bikin galau tapi cuma saya yang galau karena isinya lagu-lagu yang punya arti buat saya doang.

Kalau dulu saya agak takut, takut dibilang apa gitu, sok deep lah, misalnya, biasa orang nyinyir.

Tapi saya yang sekarang sudah ngga peduli, kalau tiba-tiba ada orang yang merasa isi hati-nya terwakilkan oleh tulisan saya, satu orang saja, maka semua usaha saya selama ini akan terasa worth it - masih ga nemu terjemahan asiknya.

Karena saya juga pernah ngerasain gitu, blog orang yang isinya saya banget, sampe saya sedih ketika empunya blog memutuskan pensiun karena hidup makin ribet.

Yah namanya juga hidup, kalau gampang namanya main gundu.

Ngomong-ngomong hidup, people changes, life happens, deal with it.