Jumat, 27 November 2015

Hell is other people

Itu kata Jean Paul Sartre, filsuf kenamaan entah darimana, saya juga tahu dia itu siapa dari blogpost orang lain yang lagi sumpek sama orang lain. Frase “orang lain” pun bukan perihal orang asing atau orang kebanyakan, bukan masalah kalau kumpulan manusia dalam jumlah banyak itu rentan digiring, ini masalah saya sama orang selain saya.

Filsuf Kenamaan


Saya selalu berusaha mencari alasan logis dibalik semua langkah yang saya ambil, baik itu segi efesiensi, atau memang untuk kesehatan mental saya. Tentu ini subjektif, tapi lagi-lagi masuk akal. Ini masalah argumentasi, masalah anda memertahankan prinsip, dan saya rasa saya bisa menjelaskan alasan dibalik tiap-tiap pilihan hidup saya dengan logis.

Memakai baju itu-itu saja misalnya, ini bukan perkara saya malas, ini masalah efektifitas waktu. Di mata awam, efektifitas dan kemalasan beda tipis memang – pongah sekali saya! – bisa saja mereka bilang saya malas mandi, atau memang malas segala-galanya. Nah sekarang coba bayangkan anda-anda yang sering hanya karena baju anda kurang sreg, nah bayangkan saya yang punya zona nyaman masalah pakaian, otak dan waktu saya bisa dipakai untuk hal lain. Masalah hal lain itu tidur, itu beda masalah, tapi misalnya tiba-tiba saya harus kemana gitu atau melakukan apa gitu, saya tahu baju saya layak – pilihan baju saya aman banget lah – dan otak saya belum terlalu lelah karena ga disibukan dengan kekhawatiran kalau baju saya kurang sreg.

Masalah tidak merokok misalnya, puluhan riset menyatakan rokok itu sumber penyakit, ganja itu jauh lebih aman daripada merokok, titik. Saya tidak harus melakukan silat mental demi justifikasi merokok, mulai dari umur siapa yang tahu, sampai “katanya kalau tidak merokok bisa beli mobl, mana?”. oh saya suka makan indomie? Saya tahu itu nggak sehat, ga usah di omongin lagi, saya tidak berusaha mencari pembenaran.

“nik hobi banget makan indomie lo”

“iya nih”

“ga sehat tau”

“iya emang”

Tuh, mudah kan? Seandainya mereka yang merokok menyerah dan mengakui kalau iya, rokok itu tidak sehat, tapi saya terlalu lemah mental untuk menolaknya, saya akan hepi-hepi saja. Lagian indomie itu jelas bikin kenyang, ga makan indomie seminggu juga kuat saya.

Ingat ini masalah argumentasi, masalah justifikasi, bisa nggak orang lain mencari alasan logis dibalik perbuatan mereka? Mostly ya ga bisa.

Kesel ga baca tulisan saya? Pongah banget ya saya? Itu pemikiran saya kelas 3 SMA.

Tahu yang merubah pola pikir saya siapa? Dr. Amadeus Arkham, dari komik Arkham Asylum, a serious house in serious earth. Waktu ibu mas Amadeus makan kecoa, dia bilang something along the line, “she do things that make sense to her”

Itu masalah manusia lain, “make sense” itu nggak universal, kita semua bersilat mental – saya termasuk – apa yang masuk akal buat saya, seperti misalnya tidak perlu ganti handphone sebelum rusak, belum tentu masuk akal buat orang lain, dan sebaliknya.

Faktanya, common sense is not that common.

Faktanya, a person, is smart, people, are stupid.

Faktanya, saya lagi pengin marah-marah.

Ini masalah bikin susah. Saya tahu saya bukan orang yang enak diajak ngobrol waktu pertama kali ketemu, saya tahu saya ini egois mampus, saya tahu saya pragmatis, tapi saya selalu berusaha untuk selalu considerate sama orang, ngga nyusahin orang.

Main kerumah orang jam 11 malem tanpa ngabarin dulu trus jam 1 malem minta anterin itu nyusahin.

Ngajak temen yang kita ga kenal tanpa izin itu nyusahin.

Nitip kentang goreng jam 11 malem itu nyusahin.

Saya pengen jadi orang baik, sumpah, tapi resikonya adalah akan selalu ada orang-orang yang kayak tai gini manfaatin.

Ini justifikasi saya kenapa saya tidak terlalu tertarik bersosialisasi, because people rarely impress me.

Hell the last person who impressed me because she’s nice, it turns out she’s not smart. Is there any way people could be smart, and kind. Could people be smart and kind? Because kindness depends on its user – weapon kali user – to be somehow naive, to believe that people are nice.

I’m not nice, i’m not going to go out of my way to please people. If people ask for my help, yes i’ll help, but i won’t try to be more than considerate.

Consideration is the least i could give to other people.

If you read my post, you’ll think of me as a snobbish sons of beaches. But if you know me, you’ll know that i’m one of the most considerate people out there. I hold door for other people, i let people pass me on highway, hell i let people pass me on supermarket queue if they only have 1-2 goods to pay.

Heck, if you know me without reading my blog, you’ll probably think i’m the most, humblest, guy in the world. I’m humblebraging there.

Kamis, 19 November 2015

Selamat Ulang Tahun

Selamat ulang tahun untuk saya.

24 tahun, sudah cocok dengan lagu ebi bit A yang saya gatau ngeja nya gimana.

Sudah 24 tahun, usia yang sebenarnya sudah bisa dibilang dewasa, di mata kerabat dan keluarga pun saya dianggap dewasa melebihi umur, hasil sinisme dan pesimisme mungkin, atau memang bijaksana?

Sudah 24 tahun, usia dimana banyak orang mulai mempertimbangkan jenjang hidup berikutnya, seakan hidup ini permainan video atau novel, yang punya jenjang atau bab.

Sudah 24 tahun, saya masih ingat betul bagaimana rasanya jadi anak bocah 19 tahun - umur adik saya sekarang.

Sudah 24 tahun, tapi masih kontemplasi - alah! -perihal hadiah ulang tahun dari diri sendiri untuk diri sendiri, buang waktu sehari penuh apalah harus beli ini barang atau tidak.

Tidak murah, memang, tapi entah kenapa ini barang terasa sebagai bagian dari sejarah, seperti punya signifikansi sendiri, sebuah investasi baik dari sisi nominal maupun emosional.

Sebuah centerpiece koleksi.

Sudah 24 tahun, saya galau antara harus beli Optimus Prime (lagi) atau tidak.





Rabu, 18 November 2015

Kentut

Saya sedang kangen betul rumah ini.

Mungkin selanjutnya saya di rumah, rutinitasnya akan berbeda, karena saya mungkin akan punya pekerjaan, jadi di rumah pun tidak akan seperti 5 bulan terakhir dimana kerjaan saya cuma tidur/internetan/makan/sekalikali nonton bokep.

Tapi saya kangen rumah.

Saya kangen keakraban jakarta.

Setaiknya Jakarta, saya kenal jakarta.

Saya tau titik macet yang rutin dimana, jam berapa, sampai kapan. Saya tau kalau jumat sore di jakarta itu ga masuk akal, ga layak hidup, tapi tetep kangen jakarta.

Saya kangen puluhan mall yang isinya sama aja.

Saya kangen bisa delivery segala jenis fastfood dari rumah sambil internetan dan sok pinter di reddit.

Saya kangen dengan kondisi dimana semuanya hanya an hour away.

Di sini rumah sakit bagus jauh, mall bagus jauh, bioskop sedikit - di Jakarta, mall sekelas Pejaten Village aja punya bioskop! 5 menit naik sepeda dari rumah - makanan itu2 aja.

Dulu di buku manajemen ada The Golden Arches theory, golden arches itu lambang McDonalds, teorinya cuma menyatakan kalau keberadaan McDonalds berbanding lurus dengan kemajuan area tersebut, nah di Gowa ndak ada McDonalds.

Di sini orang main ke KFC dandan, saya biasa ke KFC kemang yang gaul banget itu sendalan jepit + kaos oblong dan celana pendek - cuma 10 menit dari rumah! - saya kangen bisa makan hotdog sevel at any given moment.

Saya kangen punya unlimited internet dimanapun - dirumah ada, di kampus ada, rumah saudara punya semua - disini yang punya wifi seupil, speed nya pun hina dina.

Kentut

Saya kangen rumah

Sabtu, 14 November 2015

Penderitaan

I'm in agony.

The reason? These people library of music is as big as my choice of clothes: minimum.

These local kids take care of music responsibility, i get it, i understand it, aim for majority, but it still sucks.

I have to create my own playlist so i could stay sane, i have to use earphone to listen to it, but using earphone for hours makes me looks like i hate their music taste, well i hate it, but they must not know.

Kemarin mati lampu, semua menderita kecuali saya. Mati lampu adalah satu2nya momen dimana mereka ga nyetel lagu dari speaker - bahkan bbrp langsung pulang - dan saya bisa menikmati kesunyian.

I miss being alone in my room and shitposting on reddit.

Jumat, 13 November 2015

Radiohead - Creep

Saya ndak tahu apa yang ada di kepala mas Yorke waktu ngegagas lagu Creep - atau siapapun yang nulis inj lagu - karena liriknya nggateli, nusuk, mbathin bener.

Kenapa begitu? Ya karena memang begitu, karena saya - dan mungkin kebanyakan dari kita - pernah jadi seperti yang di lagu ini, pernah jadi creep waktu naksir orang, pernah mengagungkan dia yang di taksir dan entah gimana logikanya, saya - kita - merasa kecil dan ndak pantas mebdapatkan cinta si dia, keburu pesimis duluan.

Akhirnya cuma mbisa gitu, ngeliatin dari jauh, mbayangin skenario mustahil perihal gimana saya bisa sama si dia.

Ngestalk segala jejaring sosial, tau detail hidup si dia yang ndak wajar kita tau.

Ya saya ndak tahu dengan dewa dewi yang diberikan paras rupawan dan rasa percaya diri yang mumpuni, tapi ya saya ini manusia kebanyakan - average mampus! - yang pernah merasa ndak pede karena si dia - pada saat itu - terasa begitu bersinar sehingga menyilaukan.

Ini lagu menye bener, sungguh. Tapi sudut yang di ambil - kita sebagai seorang yang nggilani - entah mengapa bikin lagu ini jadi ga semenye itu. Mungkin karena self depreciating, self aware, ndak mencoba puitis, straight forward; yang saya lakukan ini nggilani.

Creep ini anti-thesis Payung Teduh yang poetic for the sake of being poetic. 

Creep adalah bukti kalau bikin lirik yang nusuk dan reflektif tidak harus dengan lirik indah.


Kamis, 12 November 2015

A Letter to all poser in this god damn world.

There are shitload of poser here, in earth. Poser. People who do things in superficial way, emphasis on the word “Superficial”. They do things without knowing the true essence of said things, from petty things such as pop culture, to deep and private things like religions. 

My point is: poser sucks.

It’s not about doing things, it’s about the fact that these people are doing it just for the sake of doing it. These are the people who suddenly wears hijab while still wearing expensive accessories when the essence of wearing hijab is humility and simplicity. Come on, i may be a borderline atheist, but these people should know, these people – i refer to those who wears hijab – represents Islam, you know, whether they like it or not.

These are the people who suddenly loves batman just by watching Nolan’s movie, and claiming that Nolan’s Batman is THE definitive Batman, when in fact most of us consider Bruce Timm’s as the one – still bitter about that guy who claimed this when DC announced BvS: Dawn of Justice.

These are the people who suddenly splash hundreds of dollars, millions of rupiah, to buy vinyls just because they can afford it.

You sucks. You guys fucking sucks.

Some of these people would say something along the lines of “chill dude, it’s just a fucking hobbies”

But is it? Is it just a fucking hobbies?

For some – doh, most – of us, it’s more than hobbies, it’s our raison d'etre

These fucking hobbies are our reason to endure shit jobs week in, week out, 9-to-5, for years, so we could fulfill our hobbies, so our live has meaning.

These fucking hobbies are the reason for our mental healths, our friends when we were going through rough patches in life.

These fucking hobbies inspired us, to be the better version of ourselves. Whether it's Optimus Prime optimism, or Batman's pragmatism.

So don’t you dare tell us it’s just a fucking hobbies.

But honestly, we’re open to newcomers, as long as they are respectful and willing to learn. Ask any guitar player to teach you how to play one, most of them will agree to teach you.


So yeah, fuck you poser.

Terpujilah Wahai Pencetus Earphone, Earset, Headphone, atau apapun orang-orang menyebutnya.

Bahwa sejatinya (menurut saya) cara mendengarkan lagu yang paling baik adalah dengan menggunakan earphone.

Bukannya apa-apa, ini masalah perhatian terhadap detail, karena sebagus apapun speaker 7 channel, detail-detail halus tidak akan terdengar. Mulai dari petikan gitar kesekian, sampai dentuman bass betot yang ada 4 detik sekali.

Masalah saya pribadi dengan speaker adalah kecendrungan orang-orang untuk membesarkan bass yang entah apa tujuannya, ketika sebuah lagu punya banyak unsur selain bass yang lebih intricate dan lebih sulit ditangkap dengan speaker yang selalu terganggu oleh suara bising lain.

Tentu kalau situ punya duit banyak, situ bisa mbangun rumah dengan satu ruangan khusus buat dengerin lagu plek, lengkap dengan pemutar vinyl puluhan juta, dan ruangan kedap suara. Tapi hidup tidak adil dan banyak orang tidak seberuntung itu, ini masalah equality dalam menikmati musik. Saya percaya semua orang pantas menikmati musik, dan sangat menyayangkan kurangnya penetrasi musik non-mainstream di radio-radio lokal. Cih bahkan tidak harus non-mainstream, sekedar lagu bagus dari artis mainstream tapi bukan single utama saja jarang.

Earphone pun bisa digunakan dimana saja, mulai dari kamar sendiri, sampai di atas motor dalam perjalanan ke kampus.

Intinya earphone adalah dimana form selalu follow function, karena sebuah earphone harus ergonomis dulu, baru bisa di desain aneh-aneh. Earphone adalah lambang kepraktisan idup, dan indivualisme.


Sabtu, 07 November 2015

Alasan Kenapa Saya Benci Mereka Yang Merayakan Ulang Tahun Dengan Anak Panti Asuhan.

Ga ngerti, nggak pernah ngerti logikanya berbagi dengan anak yatim ketika ulang tahun. Seremonial, short term, dan ga substantif. Karena biasanya yang dilakukan Cuma bagi-bagi bingkisan alat sekolah, makan-makan enak, sembari games yang ga seru.

Do these people see those kids eyes? It’s empty, i’ve seen one. Hidup di panti itu ga ada enak-enaknya, bayangin tiba-tiba ada orang mampu, out of pitty, fear of god, or altruism, memutuskan untuk merayakan ulang tahun dengan anak yatim.

Pernah mikir ga sih apa yang dirasain anak-anak itu? Bahagia? Mungkin. Lumayan bisa makan di restoran/delivery fast food yang mungkin buat mereka Cuma bisa makan sebulan sekali. Tapi ga mikir apa perasaan yang lain? Iri? Bingung? Marah?

Bayangin lagi kalau yang ulang tahunnya dirayain itu anak yang seumur dengan anak-anak panti, kebayang ga sih? Kita ga bisa nyalahin kalau ada rasa iri, bingung, dan marah. Iri sama anak itu kok orang tua nya ada dan mampu, bingung kok idup gini amat, kalau orangnya punya bakat sinis, ya marah kok tuhan ga adil amat.

Kalau memang mau bantu, daripada makan-makan fana, dan besoknya kamu ga peduli lagi sama anak-anak itu, dan kemudian masturbasi rasa syukur betapa beruntungnya kamu bisa hidup berkecukupan dan semoga anak-anak itu diberi kemudahan, kenapa ga jadi donatur tetap, sumbang gaji perbulan yang entah berapa belas juta – orang yang gajinya masih jutaan ga ada yang norak ngerayain ultah bareng panti, Cuma mereka yang merasa #blessed, lagipula, secara statistik, kalangan yang paling aktif beramal adalah yang kaya banget, dan yang miskin banget – ke panti asuhan untuk operasional, daripada buang sekian juta buat makan-makan yang akhirnya jadi feces.

Iya post ini sinis sekali, tapi saya capek sama kemunafikan dan inkonsistensi orang-orang, setidaknya saya konsisten ga nyumbang, karena ga punya duit, dan menurut saya menyumbang diem-diem lebih baik daripada makan-makan KFC bareng anak yatim.

Sebenarnya yang bikin saya paling marah, beneran marah, adalah rasa peduli mereka Cuma bertahan satu hari. Mending kalau tiap tahun rutin, kebanyakan juga Cuma sekali-dua kali seumur hidupnya, ulang tahun lainnya dihabiskan dengan rutinitas lain, entah itu dinner dengan keluarga dan teman terdekat, atau mabuk berujung pesta seks – i need to make an extreme example here – dan anak-anak itu Cuma jadi objek foto untuk di share di instagram, dengan segala kalimat inspiratif dan hastagnya, demi menyiarkan ke dunia kalau saya orang baik.

Memangnya besok mereka akan telpon ke panti itu nanyain kabar? Atau sekedar main waktu pulang kantor? Atau memang aktif di panti di akhir pekan.

Makanya saya bilang itu semua bullshit.

Hobi orang indonesia memang, semua yang seremonial dan nggak substantif di gadang-gadang, mungkin ada hubungannya dengan kepercayaan bahwa “yang penting niatnya”.



Saya mau ngeluh soal instagram dan jejaring sosial lainnya.

Saya tahu keluhan ini petty, ga guna, ga membawa manfaat untuk umat, tapi saya tetap mau ngeluh, karena ngeluh di blog punya pengaruh langsung terhadap kesehatan mental saya. Dan mungkin mental situ-situ sekalian, ada baiknya dicoba ngeluh di internet. Lagian ngeluh memang ndak perlu membawa manfaat toh.

Saya lagi penasaran setengah mati soal faktor apa yang membuat sebuah post di social media banyak yang nge-like. Butuh dilakukan riset mendalam disini, lumayan bisa kayaknya ini tema saya ajukan buat thesis master saya di finlandia nanti kapan-kapan - One can dreams, you know.

Saya ngerasa pathetic benar ini, masalah jejaring sosial sampe bikin saya ga bisa tidur. Tapi apa kalian semua nggak penasaran? Sebenarnya yang dimau khalayak jejaring sosial itu apa sih? Kutipan inspiratif? Foto pemandangan? Foto pemandangan tapi yang punya akun harus selfie? Foto pemandangan dengan kutipan inspiratif dan yang punya akun selfie? Foto hobi? Foto bareng temen? Foto bareng pacar? Pamer barang mahal?

Kalau ditelaah case by case dari yang sebutkan diatas, mungkin memang nasib saya saja yang kebetulan ga suka hal-hal yang dilakukan orang kebanyakan.

Quotes indah? Quotes favorit itu dari Mark Twain, “But who prays for Satan? Who, in eighteen centuries, has had the common humanity to pray for the one sinner who needed it the most?” Anak  gaul mana yang ngelike quotes kayak gitu? Oke mereka ngerti bahasa Inggris, tapi mau mereka ngeresapin kutipan itu trus tiba-tiba mempertanyakan konsep setan-tuhan-doa-pendosa? Oke saya pongah, tapi akui saja lah, pernah ga situ mendalami lirik lagu Ahmad Dhani feat. Chrisye – Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada, yang sebenarnya di comot – di paraphrase? – dari puisinya Kahlil Ghibran? Pernah ga kepikiran kalau tuhan ternyata ndak ada? Atau ternyata memang ada, tapi ternyata dia Thor, atau Ra? Sudah lah, jadi ngalor ngidul ini.

Pemandangan? Udah. Iya sih, saya ngepost fotonya doang, ga ada kutipan inspiratif, tapi apa perlu? Masa iya situ mau menistakan indahnya pemandangan yang saya post? Pemandangan plus selfie? Menurut saya kamera itu ekstensi dari mata, kecuali bercermin, kita ga bisa liat muka sendiri.

Hobi? Hobi saya kacrut, koleksi action figure dan baca komik. Ga ada ceritanya hobi begitu di like khalayak ramai jejaring sosial yang suka tiba-tiba jadi ahli komik tiap musim panas dan mengeluarkan opini-opini tak berdasar seperti “christian bale itu bruce wayne yang definitif” ketika mereka Cuma tahu batman dari 2 film Tim Burton, 2 film Joel Schumacher, dan 3 film Christoper Nolan.

Foto bareng temen? Pacar? Ga suka selie, ga punya pacar. Foto barang mahal? Ga punya. Kalaupun mampu, ga ada gunanya juga punya handphone 13 juta ketika Cuma dipake jejaring sosial yang hape 4S saya masih bisa lakukan.

Intinya mah sial aja. Saya ga keikut sama yang mainstream. Tidak, saya bukan hipster. Hal tidak mainstream yang saya sukai pun tidak disukai hipster.

Pathetic bukan post ini? Mungkin post paling nyinyir, snobbish, nan nggilani yang pernah saya post di blog ini, tapi ya apa boleh bikin, saya lagi kena thipes/thypus/tipes. Ndak ada yang nanyain kabar – meskipun saya juga ndak menyiarkan berita ini sih – teman ngobrol ya ndak ada, pikiran melanglang buana, mbayangin berkeluarga, sampai skenario absurdist mulai dari tiba-tiba kenal Isyana Sarasvati via seorang teman yang ngga tau siapa – lagi ngefans banget eke – sampe mbayangin kuliah S2 di Finland sana dan ternyata roommate saya di sana adalah teman SMA Margot Robbie trus doi main ke Finland, nginep di flat saya, dan mendapati saya punya Action Figure Hot Toys doi sebagai Harley Quinn. Oh, dan ikut mejeng di foto instagram doi yang lagi pamer liburan di finland, teman-teman di rumah pun heboh.


Ya sudahlah, pusing saya, mau tidur saja.