Sabtu, 20 Juni 2015

My Sassy Girl

2011 kemarin saya lagi nganggur karena lupa bayar semester pendek, dan akhirnya liburan 3 bulan.

kalau saya waktu itu bayar semester pendek, mungkin saya bisa lebih dekat dengan teman angkatan saya, mungkin saya akan lulus 4 tahun, dan mungkin-mungkin lainnya.

tapi toh akhirnya saya ndak ambil itu semester pendek, tapi saya ndak menyesal sama sekali, karena ditengah liburan itu, saya menemukan ultimate romcom, romcom terbaik dalam sejarah kemanusiaan, romcom yang saya telat nonton 10 tahun.

judulnya My Sassy Girl, saya nonton di youtube, dan kalau situ belum nonton juga bisa nonton di youtube.

inti dari post ini adalah

FUCK OTHER ROM COM, MY SASSY GIRL IS LOVE, MY SASSY GIRL IS LIFE!

you think the US version is cute? the US version means jackshit compared to the real one.

the real one will make you laugh, make you feels those butterfly in your stomach,  THEN RIP YOU FUCKING HEART AND EMPTY YOU TEARDUCT, and finally make you yearn for genuine connection with people, and maybe make you believe in love again.


Selasa, 16 Juni 2015

pagi

waktu kita kecil dulu, ngeliat anak SMP tuh kesannya dewasa banget. begitu SMP, liat anak kuliah kesannya asik banget sekolah pake baju bebas. pas kuliah iri liat yang udah kerja. pas kerja kangen kuliah. 

saya sedikit tradisionalis disini. menurut saya sistem pemaketan sks mata kuliah - jadi seperti anak SMA -menghilangkan esensi kuliah itu sendiri. universitas bukan lembaga pendidikan dalam sudut pandang pembentukan ahlak dan etika, itu masalah SD sampai SMA. universitas adalah lembaga pendidikan tinggi, dimana siswanya disebut mahasiswa, dan tujuannya adalah mengejar pengetahuan yang tentunya lebih dalam dari sekedar pelajaran SMA.

universitas harusnya penuh dengan pencarian jati diri, dan pencarian jati diri ga bakal kesampaian kalau jadwal kuliahnya senen-jumat, pagi sampai sore, satu semester 24 sks. iya kamu lulus 3,5 tahun, tapi sesi pencarian jati dirinya mundur, kamu mencari jati diri ketika kamu sudah jadi angkatan kerja yang mbayar pajak.

saya selalu melihat ada dua tipe orang yang lulus kuliah, pertama yang lulus cepet, biasanya lulusnya dengan muka gembira karena selama kuliah cuma kuliah disambi magang sekali dua kali plus sedikit kegiatan jurusan. kemudian ada yang lulus dengan muka yang lelah, biasanya karena berkutat dengan konsekuensi kemalasan di awal kuliah, dan akhirnya harus menanggung akibatnya, dengan cara lulus lama.

yang pertama tentu secara sekilas lebih bagus; konsisten, rajin, dan bertanggung jawab. tapi masalah asam mecin, yang kedua lebih ntap; dia sudah pernah gagal, instead of giving up, they grind it to the end. semakin cepat kamu merasakan kegagalan, semakin enak kedepannya.

di kampus saya ada program lulus 3 tahun, berarti kalo lancar lulusnya umur 21, kebayang ga sih kerja umur 21? di bentak orang umur 10-20 tahun lebih tua apa ga kicep? setidaknya kalo kamu lulus di usia 23-24, angka usia kamu lebih respectable, 1/4 abad, orang juga ga sembarangan marah-marahin kamu. kalaupun dimarahin sih, kamu udah sering dimarahin dosen.

ini masalah book smart lawan street smart, saya bisa baca 1000 tips soal sikap positif di lingkungan kerja, tapi pada akhirnya pengalaman kamu dalam berhadapan dengan taiknya dunia lebih berperan daripada nilai UAS kamu yang straight As.

kuliah 4-5 tahun itu udah paling benar. 1 semester 18-20 sks, cukup padat tapi ga segila 23-24 sks. kalau di ganjil dan genap lancar, mei-agustus liburan. libur ini bisa di isi kerja ato sekedar mendalami hobi kamu yang terlupakan selama kuliah.

universitas harusnya tempat diskusi, saling adu ide, bukannya malah implementasi ideologi agama kedalam ilmu pengetahuan yang jelas-jelas sifatnya sekuler.

Kamis, 11 Juni 2015

Curious case of pencitraan artis korea

Ps: Daripada dibilang pencitraan, mungkin lebih baik disebut industrialisasi citra, karena memang perencanaan yang disiapkan oleh bagian PR si artis memang masif.

Pertama dibedakan dulu antara artis, selebritis, dan idol. Artis adalah mereka yang hampir tidak peduli sama citra mereka, kalaupun ada seorang artis yang identik dengan sebuah citra, itu hasil yang natural. Selebriti adalah mereka yang sebenarnya punya dasar seni yang cukup kuat, tapi tetap butuh rekayasa citra demi mencapai level selanjutnya. Idola adalah hasil industri manufaktur selebriti, contohnya ya JKT48 dan Idol Korea Selatan kebanyakan.

Industri Selebriti Korea

Fenomena ini jujur hanya terjadi di asia timur, tepatnya di dua tuan rumah Piala Dunia 2002; Jepang dan Korea Selatan. Hasil industri “artis” korea selatan disebut idol. Kenapa idol? Nanti juga ketauan.
Seperti namanya, talenta diproduksi dalam jumlah masif. Yang berhasil banyak, dan yang berhasil biasanya jadi besar (sekali), tapi yang gagal jauh lebih banyak. Menurut wikipedia, tahun 2015 ada 44 grup yang debut, dan hanya 6 dari 44 grup itu yang punya page wikipedia sendiri, mengimplikasikan kalau mereka punya fanbase yang lumayan peduli buat update wikipedia mereka.

Dalam hidup idola korea, hampir semua aspek hidup diatus agensi. Mulai dari debut sama siapa – iya, mereka gatau akan bikin grup sama siapa sampai 1 tahun sebelum debut, bahkan ada transfer, jadi latihannya dimana, trus di”beli” sama agensi lain – makannya apa, imagenya gimana, dan boleh pacaran apa tidak. Beberapa agensi melarang kepemilikan handphone. Sedangkan pemain bola di eropa sana, begitu punya kontrak 1000 euro seminggu, langsung bisa kredit mobil dan sewa apartment.

Dari semua aspek hidup yang diatur oleh agensi, yang paling brengsek adalah manufaktur image si artis itu. Ga ada yang tahu di dunia ini gimana kepribadian artis itu sebenarnya, kecuali kenal personally. Itupun masih bisa ditutupi oleh budaya basa basi asia timur.
milih foto ini biar bisa bilang "devilishly cute"
Take this devilishly cute IU for example. Dia dicitrakan oleh agensinya sebagai “nation’s little sister”, jadi pembawaan dia harus imut, rendah hati, dan murah senyum. Yang tadi itu image dia di interview, image per-album lain lagi. 

ini promo album apa gitu saya lupa.
Ga ada yang tahu dia aslinya gimana, dikepala saya ya dia ini orangnya cute, enak diajak ngobrol, dan minta diajak nikah. Padahal bisa saja aslinya dia shallow obnoxious bitch yang merasa umat manusia harus berterima kasih atas kehadiran dia. Tapi lagi-lagi karena kehidupan idol yang terisolasi, hampir mustahil ada cerita dari teman masa kecil atau tetangga, karena mereka ga punya teman masa kecil, dan hampir tiap hari diluar rumah, meskipun saya berharap dia punya sense of justice yang kuat.
kalimat terakhir sengaja saya tulis biar ada alasan ngepost foto ini.

Untungnya mereka ga pernah menyebut diri mereka sendiri sebagai seorang artis, mereka self-claim themselves as an idol. Karena mereka memang bukan artis – tapi IU pengecualian sih, doi bikin lagu sendokir, makanya gw sayang* - mereka idol. Komposisi grup mereka diatur, dance mereka diatur, konsep video klip mereka diatur, image mereka diatur, saking diaturnya, banyak idol yang sebenarnya punya bakat yang hebat tapi harus rela mengalah demi popularitas dan stabilitas finansial. Tapi tentu saja mayoritas dari mereka senang-senang saja di-idolai remaja seantero asia dengan bakat yang pas-pasan.

paradox dari kultur ini adalah sosial media mereka sangat-sangat personal, saking personalnya, saya yang sinis ini curiga kalau agensinya juga bikin guidance tentang apa aja yang boleh dan ga boleh dipost di jejaring sosial.

OKE SEBENERNYA POST INI TUH LAGI-LAGI ALASAN AJA BUAT NGEPOST POTO IDOL FAVORIT, KALI INI SI IU.


auranya aura teman sekelompok yang manis tapi ga cantik bitchy
*sayang, menurut saya, adalah tahap 3 dari fanboy/girling seorang public figure. tahap satu itu sadar, kedua penasaran, ketiga sayang. dan karena citra si artis ini biasanya konsisten, kecuali ada skandal yang bikin ilfil, fanboy/girl ini akan tetap sayang sampai mati

Ps; saya punya kecendrungan aneh, 3 paragraf pertama ditulis di microsoft word, dan kata-kata yang saya pilih, secara tidak sadar adalah kata-kata yang baku, kalimatnya pun punya syntax dan grammar yang baik dan benar. 2 paragraf terakhir ditulis di blogger, tiba-tiba saya kayak ngobrol sama diri sendiri.


Minggu, 07 Juni 2015

about procreation

No matter how strong my stance against (mindless) marriage is, marriage indeed feels like a rite of passage, some sort of leveling up in life. There are a lot of rite of passage, from your first day of school, first day of college, college graduation, or first day at your first job, but marriage feels like a whole new level of leveling up.

Maybe it’s about the commitment, maybe it’s about the risk, or maybe because society planted this idea of ideal life of classic nuclear family. We all know about this, about the commitment and the risks of marriage, but most of us never think about it, we take it for granted.

For the record, i’m still against early marriage. I believe we as a human, thanks to thousands of years of evolution, have developed these great potential to achieve great things, and we should explore those potential, we could send a robot to mars godamnit people. It is a crime against humanity to take these potential for granted, and choose to settle at their peak years.

Being a parent is hard, being a great parent is an achievement, but having kid is not some milestone that worth a celebrations. Well a lot of things aren’t worth celebrating.

I know people want to have kid(s), but please don’t do it because you want to have a kid to play with, or you want to be a hot mom, with hot teenage daughter, like those cream advertising. Your job as a parent is to prepare them for their life without you, because world is a cruel, often unforgiving place.
Having a kid is a lifetime commitment. You hate you significant other? You could get a divorce. We have ex-husband/wife, but we don’t have ex-son/daughter. If you think you are not ready to spend most of your time and energy to educate your child(ren), please don’t.

We often thinks about leaving a good earth to our child, but honestly we should start thinking about leaving a good child for this earth.


Well, tigra explains it better.

Rabu, 03 Juni 2015

Alasan Kenapa Gatekeeper Mentality dalam dunia geekdom itu perlu.

for the uninitiated, gatekeeper mentality adalah kondisi dimana orang-orang yang turut serta dalam sebuah fandom - or geekdom, specifically - menjadi sangat defensif ketika ada orang yang stereotype nya tidak cocok dengan geek kebanyakan masuk ke dalam dunia geek. memang kelemahan ada di generalisasi bahwa "orang yang tidak kelihatan seperti geek" akan sangat mencurigakan kalau mereka suka hal-hal geeky, tapi masalah ini tidak muncul tiba-tiba, ini hasil dari marginalisasi kultur geek yang selama ini dianggap culun dan kekanakan, yang tiba-tiba jadi keren karena masuknya kultur geek ke dunia mainstream lewat film-film blockbusternya. tiba-tiba orang yang 10 tahun lalu boro-boro tahu iron man itu siapa, sekarang ngefans banget dan bilang kalau tony stark adalah iron man yang definitif.

hal ini muncul di permukaan memang baru kurang dari 10 tahun terakhir, ketika karakter komik masuk ke dalam kultur pop mainstream. mulai dari batman tahun 89, sampai puncaknya di akhir 2000an ketika batman begins lunched the comic book property into mainstream, dan ditambah iron man dan the dark knight yang membuktikan kalau film superhero bisa serius. awalnya tentu saja mereka yang mendedikasikan hidupnya di kultur ini senang, akhirnya mereka didengar dan dihargai, tapi pada satu sisi, orang-orang yang dulunya tidak peduli dengan komik, menggunakan komik agar terlihat cool and hip.

sebenarnya ini nggak lebih dari balas dendam pathetic kaum yang sudah lama termaginalisasi. tapi seperti bidang-bidang lainnya, geekdom tetap butuh seorang gatekeeper untuk memastikan mereka yang mau ikut peduli dengan kultur ini, benar-benar peduli dan mendukung kultur ini dengan utuh. 

sebenarnya geekdom sangat terbuka dengan orang-orang yang benar-benar serius ingin masuk ke kultur ini. saya sebagai batman geek akan dengan senang hati memberikan list must-read story kalau memang mau serius mengikuti dunia ini. mereka yang di reddit juga tidak pernah marah-marah kalau ada yang dengan sopan bertanya soal hal-hal yang kurang jelas, karena memang dunia komik - dan geek culture kebanyakan - sudah terlalu uzur dan punya banyak versi untuk dimengerti dalam waktu singkat.

intinya adalah mengakui kalau kamu itu baru disini, dan kita sangat inklusif. toh sekarang komik sangat mudah didapatkan. yang bikin marah tentu saja mereka yang kemana-mana pake kaos captain america tapi gatau steve rodgers itu siapa. sama dengan orang yang kesel pada mereka yang pake kaos band tapi gatau lagunya apa.

anggap saja gatekeeper mentality ini semacam interview ketika mau cari kerja, atau tes masuk universitas. kalau kamu bisa membuktikan kalau kamu bukan fake geek, toh pasti akan diterima dengan lapang dada.

karena memang geekdom menuntut kamu untuk mendedikasikan waktu, tenaga, dan uang untuk bisa mengerti dan relate. kamu harus menyempatkan ratusan jam untuk membaca komik dan menonton film. jutaan rupiah untuk membeli action figure, komik, dan DVD sebagai bentuk dukungan terhadap industri kultur ini.

but then again, most of them geeks won't be heard, because deep inside they don't give a shit about people who are using their beloved culture to impressed some other people. because at the end of the day, they're the ones that matters most to the culture. 

take female thor for example, almost all people knows that this is marvel silly pandering to woman, especially radical feminist and SJW. because 1; Thor is a name, not a title. whatever happens to thor, his name is Thor Odinson, and if Captain America is worthy of Mjolnir, he will posses the power of Thor, but he is not Thor. 2; it fails miserably. because they want to make radical feminist and SJW happy, but they are not the one who buys comics. the geeks judge it with their money, and female thor fails big time. 

ps; saya masih kesel sama orang yang bilang christian bale itu definitive batman/bruce. he is good and perfect for nolan's universe, dimana semuanya grounded in reality. ketika disuruh memilih batman yang definitif di dunia film? jawaban saya ya belum ada, tapi sejauh ini, secara fisik, ben affleck jauh lebih batman daripada bale. 


ps lagi: saya masih kesel sama teman saya yang ngaku film buff, tapi ga punya satupun DVD ori dirumahnya. he's not poor mind you.

Selasa, 02 Juni 2015

Jakarta panas banget anjir.

Senin, 01 Juni 2015

Berak

Lagi nganggur, sudah sebulan lebih dikit. Hampir tiap hari buka reddit, main di r/explainitlikeimfive dan r/askreddit. Dalam sebulan ini saya gatau sudah berapa banyak pengetahuan trivial yang sebenernya ga aplikatif ini bertambah.

Hari ini agak beda.

Siangnya dihabiskan dengan nonton film slice of life yang bikin hati saya pedih. Oh, brengseknya, film ini slice of life + coming of age yang berdasarkan blog di Cina sana, iya, genrenya raditya dika. Tapi film ini berhasil bikin saya senep di dada karena 2 faktor; bikinnya niat, dan si penulis ga numpang populer jadi tokoh utama.

Intinya adalah perasaan sayang banget yang dulu lo rasain waktu masih curut, 80% ga akan berujung ke pelaminan, percuma. Sekarang masalahnya ada sama logika lo; karena percuma maka ga berguna, atau itu ga percuma, karena perasaan yang lo rasain dulu itu autentik, lo pernah sesayang itu sama satu orang.

Adik saya selalu membagi hidup saya ke dalam dua masa; "waktu masih normal tapi naif" dan "sinis tapi bener juga sih." Dan adik saya jujur saja ga bisa bener2 ngasih timeline yang jelas seperti buku sejarah, pokoknya kalau saya yang sekarang punya mesin waktu dan ketemu saya yang dulu, pasti ga nyambung.

Sejujurnya saya pribadi masih gamang soal hubungan sesama manusia, dari persahabatan sampai percintaan. Punya seseorang sebagai moral support dan menjadi moral support seseorang adalah hal yang indah, bahkan cenderung utopian. Faktanya kedua sisi gender punya jurus masing-masing demi mendapatkan pasangan yang mereka inginkan. Faktanya faktor sosial-ekonomi punya pengaruh besar terhadap pemilihan pasangan hidup. Ya tentu saja ada kemungkinan Seorang anak konglomerat jatuh cinta dengan orang dari kantor bapaknya yang sering ketemu di rumah, tapi kemungkinan mereka jadi pasangan ya kecil, kecuali si anak konglomerat mau menurunkan ekspektasi sosial ekonomi, dan si plebeian ini cukup percaya diri tidak akan mengecewakan si anakraja. Tapi ini kan realita, bukan novel karangan Dee Lestari, dimana seorang blogger miskin ditaksir sama pewaris usaha bakery nasional.

Kenapa? Karena ada peran gender dimana si laki-laki adalah sang pemberi nafkah, jadinya laki-laki gamau engage hubungan dengan yang diatasnya, dan yang diatas juga gamau sama yang lebih rendah. Mau situ ngomong apa, kenyataannya begini.

Mungkin - mungkin loh - mungkin saya ga siap patah hati. Entah karena putus 5 tahun setelah jadian, falling out of love setelah nikah 15 tahun, atau ditinggal mati setelah 50 tahun bersama, yang lantas akan membuat saya bertanya, kalau dulu saya memilih single gimana?

Hal yang sama bisa ditanyakan oleh Nico yang memilih sendiri di usia 40 tahun; kalau dulu saya memilih menikah gimana?

Tapi memang hidup itu kumpulan kesempatan yang terlewatkan. Mulai dari ajakan jalan yang saya tolak, tawaran magang yang timingnya ga cocok, sampai dia yang sudah ngasih kode pin + kartunya tapi saya terlalu oblivious. *yang terakhir saya assume aja ada*

Kalau lagi begini, satu kata aja lah buat hidup: berak