sudah lupa saya rasanya jatuh cinta, dan rasa-rasa lainnya, tapi yang paling utama ya jatuh cinta
tema paling hip dan paling in di kalangan anak muda tanggung, belom lengkap rasa nya kalau belum punya tambatan hati, selain sebagai tempat berbagi keluh kesah, tidak lupa digunakan sebagai sarana pencitraan, karena pacaran jaman sekarang belum lengkap kalau belum disiarkan ke seluruh dunia.
di generasi yang saya kira lebih maju, lebih logis dalam mengambil keputusan, ternyata tidak jauh berbeda dengan generasi kakek nenek dulu, pikirannya hanya menikah menikah dan menikah, sepertinya 50 tahun tidak cukup buat merubah pola pikir ketimuran ya.
di generasi yang saya kira suka melakukan perhitungan resiko secara matematis, ternyata sama saja dengan yang dulu, sama-sama suka go-show dalam hidup, sukur-sukur ada yang nyambung, lebih sukur-sukur lagi kalo yang nyambung bagus. saya tahu tahu hidup itu tidak pasti, tapi tidak ada salahnya menekan resiko.
lagian saya juga bingung dengan konsep pernikahan modern, kenapa sarana berkembang biak bisa ada hubungannya dengan pajak, kredit mobil dan kredit-kredit lainnya, karena menurut pemahaman saya, pernikahan itu hanya semacam "transaksi" antar si lelaki dan ayah si wanita, bahwa iya, anak anda sekarang berada di bawah tanggung jawab saya dan blah blah blah lainnya perihal nafkah, tanpa perjanjian pernikahan pun, dua orang yang sedang (terjebak ilusi) cinta pasti akan saling memberi, menjaga, bahkan mentoleransi kebodohan, berapa banyak contoh pasangan yang bertahan cuma karena takut kesepian.
apalagi nafkah biologis yang bisa tetap terlaksana tanpa cinta, boro-boro pernikahan.
seperti yang saya bilang di post sebelumnya entah kapan, pacaran, dan hubungan manusia pada umumnya itu transaksional, hubungan orang tua dan anak juga begitu.
mana ada di dunia ini orang tua yang 100% ikhlas memberi, minimal si orang tua mengharap hormat, dituruti perintahnya, minimal mengikuti peraturan di rumah.
hal tersebut juga terjadi di semua jenis hubungan, pernikahan termasuk, situ bisa ngasih apa, saya bisa ngasih apa, kalo cocok jalan, teken kontrak, ijab qabul, kalo tiba-tiba di tengah jalan ada yang dirasa kurang atau melanggar perjanjian awal, mari putus kontrak, sama saja kan seperti kontrak kerjasama antar dua perusahaan.
lagipula ada apa sih dengan menikah, kok seolah-olah manusia baru bisa sempurna kalo ada pasangannya, lalu bagaimana dengan orang yang dengan segala upaya nya untuk membaur, tetapi tetap tidak bisa berbaur, murni, sungguh, hanya karena dia berbeda.
terakhir, banyak yang menyarankan pacaran, cuma supaya punya pacar saja, lalu digunakan sebagai sarana latihan, kalau-kalau pasangan bermasalah, jadi terbiasa.
argumen saya: kenapa tidak dari sebelum berpasangan saja, dihitung presentase kecocokannya, semimpi-mimpinya saya punya pacar setipe velove vexia (Subhanallah terpujilah kamu kak velove), menurut statistik-statistikan saya, paling banter hanya 5% kecocokan saya dengan dia, dan semua ini berdasarkan data yang tersedia untuk umum (baca: socmed).
kecocokannya pun tidak harus 100%, karena di dunia ini tidak ada yang 100% persen, 65% saja sebenarnya sudah cukup, atau tergantung selera masing-masing, mau mentoleransi sampai mana, dan maaf saja, buat kalian-kalian yang berpacaran dengan harapan bisa merubah pasangan kalian, kecuali pasangan kalian kesambet geledek trus tiba-tiba dapet epiphany tentang makna hidup, ya good luck saja.
i would like to emphasize this to all human beings out there, precautions.
setiap kita naik mobil, tentu kita tidak ingin kecelakaan kan, tapi kita pake safety belt, beli mobil yang ada airbag nya, nyetir hati-hati, itu nama nya precaution dan itu completely logical. lantas kenapa masalah berhubungan dengan manusia, kita di encourage untuk terjun bebas tanpa parasut?
lagipula kasian anak orang, dijadikan bahan latihan.